Tri Mumpuni telah menjadi motor pembangunan sekitar 60 pembangkit listrik tenaga air, mikrohidro
Menerangi sebanyak mungkin desa dengan pembangkit listrik mini tenaga air. Itulah salah satu mimpi Tri Mumpuni.
Bagi perempuan yang satu ini mimpi itu bisa diwujudkan dengan kemauan dan kerja keras. Dan, dia telah menunjukkannya dengan menjadi motor pembangunan setidaknya 60 pembangkit listrik tenaga air yang ramah lingkungan di berbagai pelosok desa di Indonesia.
Atas aktivitasnya yang bersifat swadaya energi ini, perempuan kelahiran 1964 ini kemudian dijuluki sebagai "penerang desa".
Bulan April lalu, Puni -- demikian sapaan akrabnya -- dan delapan orang wirausaha Indonesia lainnya diundang khusus oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
Namun, menurut Puni, listrik sebenarnya bukanlah tujuan utamanya, melainkan membangun potensi desa agar berdaya secara ekonomi.
"Ini tidak berhenti di tingkat teknologi, tapi kita juga harus selalu maju dan bersemangat untuk mengembangkan masyarakat," tegas Tri Mumpuni kepada BBC Indonesia, di kantornya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Barat.
Tertarik aktivitas suami
Menurut catatan, hingga pertengahan 2010, ada sekitar 60 pembangkit listrik tenaga air berskala kecil atau mikrohidro telah dibangunnya di berbagai wilayah di Indonesia.
Tri Mumpuni wawancara dengan Heyder Affan (BBC)
* Tokoh edisi Mei 2010
Berawal dari aktivitas suaminya di bidang kelistrikan ini di tahun 90-an, Tri Mumpuni kemudian tertarik untuk terjun ke bidang yang sama.
Namun, dia memilih penekanan pada sisi pemberdayaan masyarakat pada pembangunan pembangkit listrik tenaga air ini.
"Saya rasa ini pembangunan pedesaan yang komprehensif. Ya dapat teknologinya, juga dapat menjaga hutannya, sekalian bisa meningkatkan hasil panennya," paparnya.
Dengan semangat itulah, Puni memutuskan untuk membantu masyarakat di pedesaan terpencil yang belum menikmati listrik.
Dibantu suaminya, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini kemudian memanfaatkan sumber daya alam berupa air sebagai energi alternatif.
"Karena di Indonesia air itu melimpah dan relatif murah," katanya.
Melalui lembaga Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan yang dipimpinnya, dia antara lain memanfaatkan aliran sungai untuk membangkitkan listrik berkekuatan kecil atau mikrohidro, yang disebutnya ramah lingkungan.
Upaya ini disebutnya swadaya energi, karena dilakukan tanpa uluran bantuan pemerintah.
Sebagai modal awal, Tri Mumpuni meminjam dana dari bank atau mencari bantuan dari sejumlah negara melalui kantor kedutaannya di Jakarta.
Salah-satu langkah awalnya yang disebutnya berhasil adalah membuat pembangkit listrik mikrohidro di Desa Curuagung, Subang, Jawa Barat, di tahun 90-an.
Dengan memanfaatkan Sungai Ciasem, Puni dan warga desa setempat membangun pembangkit listrik berkekuatan 13 kilowatt, yang akhirnya dapat menerangi 121 rumah di desa tersebut. "Walau modal awalnya hanya Rp 44 juta," kata ibu dua anak ini.
Tidak gampang
Puni bersama peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus
Puni bersama peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus
Setelah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia ini, Tri Mumpuni kini mengaku telah membangun pembangkit tenaga air mini di sekitar 60 lokasi di Indonesia.
Tetapi perempuan kelahiran 1964 ini mengaku apa yang dilakukannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Selain kesiapan teknis yang membutuhkan perencanaan matang, Puni menyebut kehadiran masyarakat di dalam pembangunan ini sebagai faktor paling penting.
"Dan ini pekerjaan panjang," tandasnya.
"Kita perlu endurance, perlu passion, komitmen. Jika gagal, diulangi lagi. Gagal diulangi lagi! Karena, kita bicara development, kita bicara membangun manusia," jelas Tri Mumpuni, yang atas berbagai upayanya ini meraih predikat Climate Hero 2005 dari Wild World Fund International.
Dia kemudian menyebut aktivitasnya tidak semata membangun piranti fisik seperti pembangkit listrik bertenaga air, tetapi selanjutnya bagaimana memberdayakan masyarakat setempat.
"Bagaimana agar pembangkit listrik yang sudah kita berikan kepada masyarakat itu bisa dikelola, dioperasikan, dirawat dan lebih penting lagi dimiliki oleh rakyat," jelasnya.
"Jika gagal, diulangi lagi. Gagal diulangi lagi!",
Tri Mumpuni
Agar upaya ini membuahkan hasil, demikian Tri Mumpuni, masyarakat dilibatkan sejak awal sebelum pembangkit itu dibangun.
"Kita gelar rapat untuk membentuk organisasi di level desa. Karena mereka yang kelak akan mengelola, mengoperasikan dan merawat, sekalian menentukan tarif untuk membeli listrik itu," ungkap Tri Mumpuni.
Persoalannya tidak semua warga bersedia membayar iuran secara rutin. Padahal uang itu nantinya digunakan untuk membayar operator yang menjalankan turbin dan sebagai biaya perawatan.
Di sinilah tantangannya, kata Puni. "Banyak orang kaya dan mampu, tapi nggak mau membayar. Ada orang mau bayar tapi nggak mampu membayar. Nah bagaimana seni mengotak-atik kedua itu."
Tolok ukur keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat ini, menurut perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini adalah "apabila masyarakat mampu menjamin keberlangsungan pembangkitnya".
"Dan saya senang karena ada beberapa desa yang sudah memiliki listrik dalam rentang setahun, punya tabungan sampai Rp 160 juta," ungkapnya.
Meskipun demikian Puni mengaku tidak semua programnya berjalan seperti diharapkan. "Yang 20 persen itu bukan gagal, karena kalau gagal itu artinya rusak dan tak termanfaatkan."
Dipuji Presiden Obama
Diundang bersama delapan wirausahawan Indonesia dalam acara bertajuk Presidential Summit on Entreprenership di Washington, Amerika Serikat, bulan April lalu, Tri Mumpuni dipuji oleh Presiden As Barack Obama.
"Dia telah membuat sekitar 60 desa terpencil menjadi terang-benderang"
Barack Obama
Dalam pidatonya, secara khusus Obama menyebutnya "telah membuat sekitar 60 desa terpencil menjadi terang-benderang".
"Kita mendapatkan seorang wirausahawan sosial seperti Tri Mumpuni, yang telah membantu masyarakat desa di Indonesia mendapatkan listrik dan pendapatn dari pembangkit listrik tenaga air," ujar Obama dalam pidatonya, yang langsung disambut tepuk tangan para hadirin.
Obama kemudian mengucapkan terima kasih kepadanya. Bersama peraih Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus, Puni secara khusus menjadi panelis dalam acara itu.
Di dalam panel itu Puni mengaku puas, "karena saya mengatakan di hadapan orang-orang kapitalis, bahwa 'my business is beyond profit and beyond money. Yang penting bagaimana mem-empowering orang lain dan membawa manfaat."
Birokrat bikin frustasi
Dalam wawancara kepada BBC, Tri Mumpuni mengaku tidak pernah berputus asa saat berhubungan dengan masyarakat, selama ini.
Tetapi yang acap membuatnya frustasi adalah "perilaku birokrat" yang disebutnya "mempersulit interaksi saya dengan rakyat, merongrong dan bahkan terkadang minta uang".
Dia kemudian mengungkapkan pengalamannya saat membangun pembangkit listrik bertenaga air di sebuah daerah. Di tempat itu, seorang aparat mendatangi warga dan meminta uang.
Tanpa sepengetahuan dirinya, warga ternyata tidak dapat menolak permintaan aparat itu dengan berbagai alasan.
"Saya marah dan saya katakan 'kenapa diberi dan siapa yang menyuruh dia datang kemari'. Saya terpaksa mengganti (uang warga). Mungkin nilai uang itu tidak besar yaitu sekitar Rp 200-300 ribu, tapi moral di belakang itu yang tidak dapat saya terima!"
Pengalaman seperti ini di mata Puni "menghabiskan energi". "Makanya saya katakan bangsa ini nggak maju, karena mental aparatnya seperti itu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar